Kriminologi (Pengertian, Istilah, dan Hubungan Dengan Ilmu Lainnya)


KRIMINOLOGI
(buku Kriminologi, penulis Dr. A. Widiada Gunakaya, S.H., M.H.)

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Mengikuti Mata Kuliah Kriminologi

Dosen
Dr. A. Widiada Gunakaya, S.H., M.H.

Oleh
Adinda Kartika Aprilliani
16.4301.045
Kelas A






SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG
2018





BAB I


ISTILAH, PENGERTIAN, PERKEMBANGAN, WILAYAH KAJIAN, RUANG LINGKUP DAN FONDASI KEILMUAN KRIMINOLOGI
A.    Istilah, Pengertian, Perkembangan Wilayah Kajian dan Ruang Lingkup

1.      Istilah dan Pengertian
Kriminologi kali pertama diintroduksi oleh seorang ahli Antropologi Prancis bemama P. Topinard (1830-1911).[1] Secara etimologikal, Kriminologi terdiri atas dua kata crimen berarti kejahatan dan logos berarti ilmu pengetahuan (sains). Jadi secara etimologikal, Kriminologi berarti ilmu pengetahuan (sain) tentang kejahatan. Kejahatan itu sendiri pada hakikatnya adalah perbuatan atau perilaku manusia bersifat immoral, asusila, antisosial, tidak senonoh, bertentangan dengan ajaran agama, dan merugikan masyarakat. Sains ini disebut sains emperik, bersifat ideografis dan nomotetik yang mempelajari kejahatan dengan berbagai aspeknya dan relasitasnya dengan norma hukum.[2]
Juga menjadi titik tekan dalam pembelajaran Kriminologi, adalah “perilaku” manusia yang dinilai menyimpang dari keadilan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga objek studi Kriminologi juga mempelajari “perilaku menyimpang” (deviance behavior). Hasil pembelajaran dan penelitian Kriminologi terhadap perilaku-perilaku demikian itu kemudian diserahkan kepada hukum pidana untuk dikaji lebih lanjut. Bagaimana merumuskan aturan pidananya supaya baik (rasional), diperlukan disiplin ilmu “Politik Hukum Pidana”. Dengan demikian, dalam studi Kriminologi dalam rangka pelaksanaan Politik Kriminal (penanggulangan kejahatan) dengan menggunakan hukum pidana sebagai sarana penal, pembelajarannya menjadi erat berkait dengan Hukum Pidana dan Politik Hukum Pidana. Ketiga disiplin ilmu ini oleh Marc Ancel disebut Modern Criminal Science.[3]
Kriminologi harus mampu mengaitkan kejahatan dengan disiplin-disiplin ilmu lain yang secara khusus mempelajari “perilaku”, dan “manusia” beserta kompleksitasnya secara pisik, nonpisik maupun budayanya. Di dalam Kriminologi studi mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya dan dilakukannya kejahatan disebut dengan “etiologi criminal” (criminal etiology).[4]
Sutherland mengatakan, “Criminology is the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon”.[5] Secara a contrario berarti menurut Sutherland, Kriminologi bukan suatu “ilmu”. Donald R. Taft juga mengatakan, Kriminologi itu bukan suatu “ilmu” tetapi suatu “studi”, “bukan suatu sains yang lengkap”. Taft mengatakan, Dalam “arti luas”, Kriminologi adalah suatu studi (bukan merupakan sains yang lengkap), lingkup kajiannya mencakup semua materi yang diperlukan untuk memahami kejahatan dan untuk pencegahan kejahatan, termasuk pemidanaan dan pembinaan terhadap para penjahat dan remaja nakal. Sedangkan dalam “arti sempit”, Kriminologi diartikan sebagai suatu studi sederhana, yang mencoba menjelaskan kejahatan untuk mencari (meneliti) bagaimana (cara) mereka melakukan kejahatan itu.[6]
Bonger mengatakan: "Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya".[7] Ini berarti Bonger telah menganggap Kriminologi adalah suatu “ilmu”. Noach mengatakan, “Kriminologi dalam arti luas dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: 
a.     Criminologie in enge zin (Kriminologi dalam arti sempit); dan 
b.     Kriminalistik (ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik, dan sebagai alat untuk mengadakan penyelidikan perkara kejahatan secara teknis dengan menggunakan ilmu alam, kimia, dan lain-lain)”.[8]
Menurut Noach, Kriminologi dalam arti sempit adalah “ilmu pengetahuan dari bentuk-bentuk gejala, sebab-musabab, dan akibat-akibat dari perbuatan jahat dan perilaku tercela. Pada akhirnya Noach menyimpulkan, Kriminologi memandang “kriminalitas” dalam tiga aspek waktu, yaitu :
a.       Sebagai gejala seketika (bentuk-bentuk gejala); 
b.      Dalam ikatannya dengan masa lampau (sebab-musabab);
c.       Hubungannya dengan masa depan (akibat-akibat).[9]
Sedangkan kriminalistik menurut Noach adalah: “Ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik, dan sebagai alat untuk mengadakan penyelidikan perkara kejahatan secara teknik dengan menggunakan ilmu alam, kimia, dan lain-lain”.[10] Ditambahkan pula oleh Noach, kriminalistik itu meliputi: 
a.    Ilmu jejak: suatu ilmu yang digunakan untuk menyelidiki dan mengidentifikasi jejak-jejak, yang ditinggalkan oleh penjahat atau alat-alat bantu yang telah digunakan dalam melakukan kejahatan.
b.  Ilmu Kedokteran Forensik: suatu ilmu yang digunakan untuk menyelidiki sebabmusabab kematian, luka-luka, darah, dan golongan darah, sperma, kotoran manusia, dan penyelidikan-penyelidikan selanjutnya yang berkaitan dengan tubuh manusia yang berhubungan dengan kriminalitas.
c.    Toksikologi Forensik: penyelidikan mengenai keracunan dan zat-zat beracun yang berhubungan dengan kriminalitas.[11]
Jika ingin berpikir secara sederhana, dengan adanya kata “logi” jelas menunjukkan, Kriminologi adalah suatu “ilmu” atau “sains” yang ontologikalnya (objek studinya) adalah kejahatan.[12] Hoefnagels mengatakan: 
There are many definitions of criminology, but in the social sciences definitions have only relative value. Jurists have discovered this truth in the hundreds of years they have been searching for definition of law; no definition ever satisfies everyone. This relativity can be specified as relating to time, to the period in which each definition was made". Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: "Definitions in the social sciences will express the accents which are deemed oportune and important in each period of social and human development. Hence every definition is somewhat arbitrary, but also reveals a choice".[13] 
2.      Perkembangan Wilayah Kajian Kriminologi
Memperhatikan perkembangan wilayah kajian Kriminologi, sampai dengan abad ke 20 wilayah “etiologi kriminal” inilah yang menjadi “trade mark“ Kriminologi. Testimoninya merujuk pada rasionalisasi ajaran Bonger yang sangat terkenal: “untuk mencegah kejahatan hal terkardinal harus diketahui adalah sebab-sebabnya, dengan mengetahui faktor penyebabnya, kejahatan itu sedini mungkin sudah akan dapat dicegah”. Ajaran beliau ini terimaji dari ajaran Baccon seorang filosuf Prancis, yang kemudian dijadikan adagium dalam Kriminologi, yakni “vere scire est percausas scire” (mengetahui sesuatu dengan sebenar-benarnya adalah mengetahui sebab-sebabnya).[14]
Menurut Bonger, “bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” berarti mencakup seluruh gejala patologi sosial seperti: kemiskinan, pelacuran, kenakalan remaja, alkoholisme, gelandangan dan lain sebagainya, yang satu dengan yang lain saling berhubungan serta kebanyakan mempunyai sebab yang sama atau terdapat dalam satu etiologi. Faktor etiologi demikian itu oleh Bonger disebut Kriminologi Teoretis atau Murni, yang diartikan sebagai: “Ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut dengan cara yang ada padanya”.[15] Merujuk pada pengertian Kriminologi Teoretis atau Murni, Kriminologi oleh Bonger diartikan sama dengan "etiologi kriminal".
Dalam upaya penanggulangan kejahatan, sebagai cerminan dari “Kriminologi sebagai ilmu yang diamalkan”, diperkenalkan nomenklatur baru di dalam Kriminologi, yaitu: hygiene criminal dan politik kriminal.
Hygiene criminal, diambil dari ilmu kedokteran yang berarti “mencegah lebih baik daripada menyembuhkan”. Kebenaran ilmu kedokteran ini oleh Bonger diterapkan juga dalam Kriminologi, yakni “mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat untuk menjadi orang baik kembali”.[16] Politik kriminal, yaitu adalah tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.[17]
Berkaitan dengan wilayah kajian “etiologi kriminal“, telah disepakati bahwa suatu kejahatan terjadi karena disebabkan oleh multiple factor. Artinya, banyak factor yang menyebabkan terjadinya kejahatan, dan itu dapat dicari dan ditemukan tidak hanya secara internal di dalam diri pelaku kejahatan, tetapi juga secara eksternal di luar diri pelaku kejahatan.[18]
Kriminologi di samping mempelajari kejahatan dan factor etiologikalnya, secara langsung juga mempelajari upaya-upaya “penanggulangannya” sebagai wujud “reaksi masyarakat” terhadap kejahatan dan penjahat. Upaya-upaya dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan sarana “nonpenal” dan “penal”.[19]
Sarana “nonpenal” dilakukan dengan menerapkan metode abolisionistik dan moralistik. Pertama, metode abolisionistik, yaitu upaya pencegahan kejahatan dilakukan dengan menghilangkan akar kriminalitas yang secara langsung potensial menjadi kejahatan, untuk kemudian dicarikan dan ditemukan upaya penanggulangannya yang relevan dengan akar yang menjadi penyebab kejahatan tersebut. Kedua, metode moralistik, yaitu kejahatan ditanggulangi dengan cara melakukan pembinaan terhadap moral hazard masyarakat, melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah di bidang agama dan keagamaan, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang terkait lainnya.[20]
Penggunaan sarana “penal” dalam politik kriminal, ditujukan pada perbuatan yang telah ditetapkan sebagai kejahatan dan atau tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan demikian itu. Pidana yang diancamkan yang nantinya dijatuhkan oleh hakim (pengadilan), diharapkan memiliki efek jera bagi pelakunya (special deterrent) dan bagi anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana (general deterrent). Tujuan akhirnya tetap bermuara pada upaya “penanggulangan kejahatan”.
Sutherland menyatakan pokok-pokok wilayah kajian dari Kriminologi (subject matter of crimmology) terdiri atas 3 proses, yakni:
a.      Processes of making laws (Proses-proses pembuatan undang-undang);
b.      Processes of breaking of laws (Proses-proses pelanggaran undang-undang);
c.   Processes of reacting toward of breaking of laws (Proses-proses reaksi terhadap pelanggaran undang-undang).[21]
Selanjutnya berdasarkan ruang lingkup tersebut, Sutherland membagi Kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu: Sosiologi Hukum (Sociology of law), Etiologi Kejahatan (Criminal etiology), dan Penologi (Penology).[22]
Definisi Kriminologinya Hoefnagels, yaituCriminology is empirical science, related in part to the legal norm, which studies crime and the formal and informal processes of criminalization and decriminalization, the offense offender - society situation, the causes and relations between the causes, and the official and unofficial reactions and responses to crime, criminals and society by others than offenders”.[23]
Perkembangan wilayah kajian Kriminologi selanjutya adalah mempelajari dan menyelidiki “perkembangan hukum pidana”, “pelaksanaan peradilan pidana“ dan “pembinaan terhadap pelaku kejahatan”.
3.      Ruang Lingkup Kriminologi
Dapat diketahui yang menjadi ruang lingkup Kriminologi adalah kejahatan, pelaku kejahatan (penjahat), sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal), penologi, reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan beserta efektivitasnya, masalah prevensi kejahatan, proses-proses formal dan informal dari kriminalisasi dan dekriminalisasi, situasi kejahatan penjahat dan masyarakat, reaksi-reaksi dan tanggapan-tanggapan resmi dan tidak resmi terhadap kejahatan. penjahat, dan masyarakat oleh pihak lain di luar kalangan penjahat.[24]
Bahwa Kriminologi mempelajari kejahatan dengan segala aspek dan permasalahan ikutannya sebagai akibat dilakukannya, terjadinya, dan diatumya kejahatan dalam suatu peraturan perundang-undangan.[25]
B.     Fondasi Keilmuan Kriminologi
Kriminologi adalah suatu sains, bahkan pada dewasa ini sudah menjadi sains mandiri. Alasan-alasannya dikemukakan berikut: Pertama, status Kriminologi pada mulanya dipandang sebagai bagian dari (ilmu) hukum pidana, kemudian berkembang dan menjadi "ilmu bantu" dari (ilmu) hukum pidana, setelah lepas dari hukum pidana, berkembang sedemikian rupa hingga akhirnya memproklamirkan dirinya menjadi suatu ilmu mandiri secara bulat dan tuntas. Kedua, dapat diverifikasi dari fondasi keilmuannya dengan menggunakan aspek-aspek Filsafat Ilmu sebagai instrument verifikasinya yang sekaligus dapat digunakan sebagai pisau analisisnya.[26]
Orang yang tengah mempelajari ”pengetahuan tentang kejahatan” itu, disebut Kriminolog. Ia menyelidiki, apakah yang menjadi faktor penyebab kejahatan. mengapa peraturan perundang-undangan mengancam perbuatan demikian itu dengan sanksi pidana tertentu, serta apakah aparat peradilan pidana yang melaksanakan peraturan perundang-undangan dinilai efektif atau tidak.[27]
Kriminologi eksis sebagai ilmu (ilmu empirik), merujuk pada realitas kejahatan sebagai pengetahuan faktual tentang kenyataan yang bersifat faktual di dalam masyarakat (pengetahuan ”a posteriori"), karenanya ilmu ini bersumber pada empiri (pengalaman) dan eksperimen. Sebagai produk, ilmu ”Kriminologi” adalah pengetahuan yang menyelidik masalah kejahatan yang hasilnya sudah terkaji dan teruji kebenarannya dan sudah tersusun secara sistemik. Sedangkan sebagai proses, ilmu ”Kriminologi” menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati kejahatan sebagai gejala sosial.[28]
Sesungguhnya Kriminologi sudah terkualifikasi dan merupakan suatu ilmu. Namun perlu pula dilakukan verifikasi dengan menggunakan aspek-aspek-aspek Filsafat Ilmu untuk mengetahui fondasi keilmuan dari Kriminologi. Eksplanasinya secara berurutan dimulai dari aspek ontologi, kemudian epistemologi dan terakhir aksiologi.
Pertama dari aspek antologi, eksplanasinya berawal dari “pengetahuan” tentang kejahatan yang menjadi bidang kajian “Kriminologi”. Berarti, aspek ontologi dari “Kriminologi” adalah “pengetahuan-pengetahuan” yang berkaitan dengan adanya dan terjadinya kejahatan. [29]
Kedua, aspek epistemologi, dapat diketahui bahwa secara imperatif, untuk memperoleh ”pengetahuan kejahatan” harus dilakukan dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu yang dimiliki dan dibenarkan menurut ilmu Kriminologi.[30]
1.      Metode Penelitian Kriminologi
Metode penelitian Kriminologi sesungguhnya merupakan cara kerja yang bersifat teknikal-praktikal (praktis-fungsional) berupa langkah-langkah khusus dalam penelitian mengenai suatu “pengetahuan tentang kejahatan” yang dilakukan secara metodikal dan sistematikal, untuk mencapai suatu tujuan.[31] Sedangkan menjadi tujuan penelitian “Kriminologi” adalah untuk memperoleh “pengetahuan” tentang seluk beluk atau hal ikhwal kejahatan dengan cara mengumpulkan, mengklasifikasikan, mengnalisis, dan menafsirkan fakta-fakta (kejahatan) serta hubungannya dengan fakta-fakta lain yang korelat, seperti fakta sosial, biologi, antropologi (phisik atau budaya), psikologi, psichiatri, politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan lainnya.[32]
maka metode-metode yang dimiliki oleh Kriminologi adalah di samping metode-metode penelitian yang dimiliki oleh cabang-cabang ilmu disebutkan di atas, juga metode ilmu-ilmu alam, metode primer (untuk mendapatkan data langsung dari pelaku kriminal, tipologi kriminal, dan melalui studi kasus), metode sekunder (biasanya digunakan bersama-sama dengan salah satu atau lebih metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu social), metode eksperimental, metode prediksi, metode operasional, dan metode statistik kriminal.[33]
2.      Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data dimaksud di sini adalah “Metode Pengolahan Data Kriminal”. Ini artinya data kriminal yang ditemukan atau diperoleh dalam kegiatan penelitian Kriminologi, kemudian diolah dengan menggunakan metode-metode (cara-cara atau aturan-aturan tertentu). Metode-metode pengolahan data dimaksud adalah:
a.      Pengolahan data kuantitatif guna memahami frekuensi, distribusi, tingkat kecendrungan dan pola-pola kriminalitas tertentu.
b.     Pengolahan data kualitatif guna memahami tingkat kerawanan daerah tertentu, hubungan korelatif kriminogen, modus operandi, dan hazard kepolisian, serta memahami signifikansi upaya politik criminal, khususnya dilakukan kriminalisasi melalui kebijakan legislasi.[34]
Ketiga, aspek aksiologi. Aspek ini membicarakan apakah suatu ilmu dalam hal ini Kriminologi memiliki kegunaan atau manfaat bagi ilmu Kriminologi itu sendiri, baik secara teoretikal maupun praktikal. Juga apakah memiliki kemanfaatan besar bagi kehidupan umat manusia, masyarakat, bangsa dan negara.[35]
Mengacu pada hasil analisis terhadap keilmuan Kriminologi dengan menggunakan aspek-aspek antologi, epistemologi, dan aksiologi dari Filsafat Ilmu, dapat disimpulkan, bahwa Kriminologi telah memiliki fondasi keilmuan, sehingga eksis sebagai “bangunan” ilmu yang mempelajari “pengetahuan kejahatan”.[36]


BAB II

RELASITAS KRIMINOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA DAN DENGAN HUKUM PIDANA
A.  Relasitas Kriminologi dengan llmu-ilmu lainnya dan Ilmu yang Berbatasan (Allied Sciences) dengan Kriminologi
Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul Penanggulangan Kejahatan, Crime Prevention[37], mengeksplanasikan:
1.      Induk Ilmu Pengetahuan Kriminologi
Falsafah kemanusiaan, (bagi Kriminologi Indonesia, Pancasila sebagai falsafah manusia Indonesia) oleh karena itu ia merupakan induk ilmu pengetahuan Kriminologi yang sangat menentukan pandangan bangsa Indonesia terhadap kejahatan, penanggulangannya, sebab-sebab dan sikap, serta lingkungannya terhadap kejahatan.
2.      Ilmu Pengetahuan Pembantu
Ilmu pengetahuan tentang manusia, baik berkenaan dengan manusia pribadi, sosial, maupun yang berkenaan dengan norma-norma pergaulan.
a.       Ilmu Pengetahuan yang berkenaan dengan manusia pribadi, terdiri atas ilmu-ilmu:
1)      Psikologi yang menyelidiki jiwa manusia yang sehat;
2)      Psikhiatri yang menyelidiki jiwa manusia yang tidak normal; dan
3)      Endokrinologi yang menyelidiki kelenjar-kelenjar yang ada dalam tubuh manusia;
b.  Ilmu Pengetahuan yang berkenaan dengan sosial, terdiri atas ilmu-ilmu: Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, dan lain-lain.
c.  Ilmu Pengetahuan yang berkenaan dengan norma-norma pergaulan, terdiri atas ilmu-ilmu: Ilmu Hukum, Etika, dan Agama.
3.      Ilmu Pengetahuan Bagian
Ilmu pengetahuan bagian dari Kriminologi adalah: Antropologi Kriminal, Sosiologi Kriminal, Psikhologi Kriminal, Penologi (Pemasyarakatan), Politik Kriminal, Etiologi Kriminal, dan lain-lain ilmu pengetahuan yang di belakang kata ilmu tersebut disertai kata kriminal.
4.      Ilmu Pengetahuan yang berbatasan dengan Kriminologi (allied sciences), adalah:
a.    Kriminalistik
b.   Ilmu Hukum Pidana beserta Acara Pidananya; 
c.    Ilmu-ilmu pengetahuan lain yang juga mempelajari masalah kejahatan. adalah sebagai berikut: 
1)     Criminal Jurism
Yaitu pengetahuan mengenai hukum pidana dan hukum acara pidana.
2)     Statistik Kriminal
Yaitu pengamatan mengenai kejahatan dengan menggunakan angka-angka pada waktu tertentu di suatu tempat tertentu.
3)     Antropologi Kriminal
Yaitu mempelajari manusia jahat (somatis) dan ciri-ciri fisik penjahat.
4)     Psikologi Kriminal
Yaitu mempelajari gejala kejiwaan dari penjahat dan lingkungannya, sebab-sebab dari gejala itu, dan lebih jauh apakah arti hukuman (pidana) dan pembinaan pelanggar hukum terhadap mereka.
5)     Psikiatri Kriminal
Yaitu mempelajari penjahat sebagai manusia yang perkembangan jiwanya terganggu, cacad atau tidak sehat.
6)     Epidemiologi Kriminal
Ilmu ini mempelajari jumlah, tempat, dan ciri-ciri sosial penjahat.
7)     Sosiologi Kriminal
Sosiologi Kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial, termasuk pengaruh masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat serta hubungan antara reaksi hukum pidana dan masyarakat.
8)     Kriminalistik
Kriminalistik merupakan Kriminologi Praktis (sebagai ilmu yang diamalkan), mempelajari kejahatan dari segi teknisnya.
9)     Penologi
Yaitu ilmu pengetahuan mengenai pembinaan terhadap pelaku kejahatan (napi) di Lembaga Pemasyarakatan.
10) Viktimologi
Yaitu mempelajari interaksi antara korban dan pelaku kejahatan.
B.     Relasitas Kriminologi dengan Hukum Pidana (dan Politik Hukum Pidana) Dalam Konteks Pelaksanaan Politik Kriminal

1.      Relasitas Kriminologi dengan Hukum Pidana
fungsi Hukum Pidana (Materiil) dengan sanksinya berupa pidana, pertama-tama berfungsi sebagai sarana penal dalam upaya penanggulangan kejahatan atau sebagai sarana kontrol sosial terhadap kejahatan. Maka Hukum Pidana tidak lain merupakan bagian dari Politik Kriminal, yaitu ”usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan". Sedangkan Politik Kriminal itu sendiri merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kriminologi yang salah satu bidang kajiannya adalah penanggulangan kejahatan.[38]
 Sarana penal demikian itu agar dapat berfungsi dengan baik, harus pula dibuat, dirumuskan dan ditetapkan dengan baik (rasional) menurut ajaran-ajaran Politik Hukum Pidana. Kriminologi melalui Politik Kriminalnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal, memerlukan pula perumusan aturan-aturan pidana (Hukum Pidana) yang baik. Ini artinya Kriminologi juga memiliki keterhubungan yang erat dengan Politik Hukum Pidana.[39]
Sudarto tegas mengatakan, fungsi Kriminologi terhadap Hukum Pidana sangat penting, yakni:
a)    meninjau secara kritis hukum pidana yang berlaku;
b)    memberi rekomendasi guna perbaikan-perbaikan;
c)    untuk memperbaharui pandangan hukum pidana.[40]
Tanpa Kriminologi, arti, fungsi, dan tujuan Hukum Pidana akan menjadi kurang hidup. Vrij mengatakan bahwa "de criminologie riep het strafrecht tot de werkelijkheid (Kriminologi menyadarkan hukum pidana dari kenyataan).[41]
Moeljatno mengenai perbedaan antara (Ilmu) Hukum Pidana dan Kriminologi, mengatakan:  “Di samping ilmu hukum pidana yang sesungguhnya dapat juga dinamakan ilmu tentang hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi. Kecuali obyeknya berlainan, tujuannyapun berbeda, kalau obyek ilmu hukum pidana adalah aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana, dan tujuannya agar dapat mengerti dan menggunakannya dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka obyek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan (si penjahat) itu sendiri. Namun demikian, ilmu hukum pidana dan kriminologi merupakan pasangan, merupakan dwi-tunggal, yang satu melengkapi yang lain”.[42]

2.      Relasitas Kriminologi dengan Politik Kriminal dan Politik Hukum Pidana
Dapat diketahui bahwa relasitas antara Kriminologi dengan Politik Kriminal dan Politik Hukum Pidana terletak pada kajian mengenai upaya penanggulangan kejahatan, khususnya dengan menggunakan sanksi pidana.[43]
salah satu bidang kajian utama Kriminologi adalah mempelajari reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat. Di dalam Kriminologi, upaya-upaya “penanggulangan kejahatan” disebut “Politik Kriminal”. Varian-varian yang dikaji oleh Politik Kriminal dan sekaligus menjadi ruang lingkupnya adalah perbuatan-perbuatan apa yang akan ditetapkan sebagai kejahatan (tindak pidana) disebut dengan “kebijakan kriminalisasi”, dan pidana apa yang akan diancamkan terhadap pelanggaranya, disebut dengan “kebijakan penalisasi”. Berkait dengan “kebijakan kriminalisasi”, perlu diketahui bahwa perbuatan-perbuatan yang akan ditetapkan sebagai kejahatan (tindak pidana) sesungguhnya merupakan hasil penelitian dan kajian Kriminologi. Bagaimana membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan Hukum Pidana terhadap perbuatan yang dikriminalisasi tersebut, harus menggunakan dan mengaplikasikan disiplin ilmu (Kebijakan) Politik Hukum Pidana.[44]
berkait dengan “kebijakan penalisasi”, bahwa perbuatan-perbuatan yang direkomendasikan untuk dilakukan kriminalisasi, sangat perlu untuk ditetapkan ancaman pidana terhadap pelanggamya. Bagaimana membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan Hukum Pidana yang demikian itu, haruslah menggunakan dan mengaplikasikan disiplin ilmu (Kebijakan) Politik Hukum Pidana.[45]



[1]Lihat catatan kaki no. 1, W.A. Bonger, “Inleiding tot de Criminologie”, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 21.
[2]A. Widiada Gunakaya, Kriminologi (Bandung: STHB, 2018), hlm. 1.
[3]Ibid., hlm. 2.
[4]Ibid.
[5]Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, Principles of Criminology (New York: JB. Lippincott Company, l960), p. 3.
[6]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 3.
[7]W.A. Bonger, op.cit., hlm. 21.
[8]Noach dalam Widiada Gunakaya, Kriminologi (Bandung: STHB, 2012), hlm. 5.
[9]Ibid., hlm. 6.
[10]Ibid., hlm. 8.
[11]Ibid., hlm. 9.
[12]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 6.
[13]G. Peter Hoefnagels, The Others Side of Criminology (Holand: Kluwer B,V., Deventer, 1973), p. 44.
[14]W.A. Bonger, loc.cit.
[15]Ibid.
[16]Ibid., hlm. 169
[17]Ibid., hlm. 170
[18]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 8.
[19]Ibid.
[20]Ibid., hlm. 9.
[21]Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, op.cit., p. 3.
[22]Ibid.
[23]G. Peter Hoefnagels, op. cit., p. 51.
[24]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 12.
[25]Ibid., hlm. 13.
[26]Ibid., hlm. 14.
[27]Ibid., hlm. 15.
[28]Ibid., hlm. 17.
[29]Ibid.
[30]Ibid., hlm. 18.
[31]Ibid., hlm. 19.
[32]Ibid., hlm. 20.
[33]Ibid.
[34]Ibid., hlm. 22.
[35]Ibid., hlm. 23.
[36]Ibid.
[37]Soedjono Dirdjosisworo, Penanggulangan Kejahatan, Crime Prevention (Bandung: Alumni, 1976), hlm. 2.
[38]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 30.
[39]Ibid., hlm. 31.
[40]Sudarto, “Peranan Kriminologi Mengarahkan..., op.cit., hlm. 68.
[41]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 33.
[42]Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 13.
[43]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 35.
[44]Ibid., hlm. 36.
[45]Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kejahatan Korporasi (Dosen: Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, S.H., M.H. / Mas Putra Zenno J., S.H., M.H.)