Kejahatan Korporasi (Dosen: Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, S.H., M.H. / Mas Putra Zenno J., S.H., M.H.)
Nama : Adinda Kartika Aprilliani
NPM : 16.4301.045
KEJAHATAN KORPORASI
NPM : 16.4301.045
KEJAHATAN KORPORASI
Soetan
K. Malikoel Adil, menguraikan pengertian korporasi secara etimologis. Korporasi, corporatie (Belanda), corporation (Inggris), berasal dari kata corporation dalam bahasa Latin. Seperti
halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan tio, maka corporation sebagai
kata benda (substantivum), berasal
dari kata kerja corporare, yang
banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari
kata corpus (badan), yang
berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya corporation itu berarti hasil dari
pekerjaan membadankan. Satjipto Rahardjo, menyatakan
bahwa:
“Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.”
Kejahatan
diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya
dikenakan hukuman (pidana).
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi
atau corporate crime adalah:
any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”. (Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”).
Menurut Marshaal
B. Clinard kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih namun ia
tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati
kedalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks
dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia
juga dapat berbentuk korporasi yang
merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya masih dalam rangkain bentuk
kejahatan kerah putih.
Menurut
Sutherland kejahatan kerah putih adalah sebuah perilaku kriminal
atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memilikikeadaan
sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas
pekerjaannya.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang dengan status social
yang tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan
tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang tinggi di bidang bisnis untuk
mendapatkan keuntungan di bidang ekonomi.
Clinard dan Yeager
(1980) menguraikan ada enam bentuk utama dari pelanggaran korporasi,
yaitu:
- Pelanggaran administratif; pelanggaran ini meliputi tidak dipenuhinya persyaratan yang diberikan oleh suatu pranata pemerintahan atau oleh suatu pengadilan, misalnya tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh suatu pranata, atau perintah pengadilan untuk memenuhi gugatan penggugat;
- Pelanggaran lingkungan; antara lain melakukan pencemaran air dan udara termasuk limbah kimiawi, termasuk melanggar ambang batas kandungan polutan pada udara dan air;
- Pelanggaran keuangan; termasuk pembayaran yang tidak sah atau tidak mengakui adanya penyuapan, termasuk politik uang;
- Pelanggaran perburuhan; yang dapat dibagi menjadi empat bentuk utama, diskriminasi dalam penerimaan pegawai, pelanggaran K3, praktik perburuhan yang tidak jujur dan pelanggaran upah;
- Pelanggran manufaktur; meliputi pelanggaran yang berada dibawah tiga lembaga, yaitu yang berhubungan dengan federal hazardous substances act, the poison prevention packaging act, serta the consumer product safety act;
- Praktik perdagangan yang tidak jujur; meliputi persaingan yang tidak jujur, monopoli, diskriminasi harga, mengurus penjualan ulang dengan paksaan, pelanggaran kredit dll.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia memang
hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang
perseorangan (legal person). Jika ditelaah lebih mendalam tentang masalah sanksi
pidana untuk tindak pidana dalam bentuk korporasi, seolah-olah
sanksi pidana yang terkandung dalam KUHP tidak berdaya untuk mengakomodasi
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Meskipun ada beberapa sanksi
yang relevan seperti hukuman pidana dan putusan hakim dapat diterapkan pada
perusahaan. Ini karena KUHP Indonesia yang berlaku mencakup subjek
pelanggaran pidana dalam bentuk manusia. Perbedaan dalam
model jenis sanksi pidana untuk orang dan perusahaan itu diperlukan.
Pembahasan
sistem pemasyarakatan untuk sistem pidana perusahaan didasarkan pada pemahaman
sistem pidana substantif yang terkandung dalam RUU 2015. Jenis kejahatan dalam
Rancangan KUHP Tahun 2015 diatur dalam Pasal 66, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pidana Dasar terdiri dari: Penjara, pertanggungan pidana, pengawasan
kriminal, denda pidana dan pekerjaan sosial kriminal. (2) Urutan kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam butir 1 menentukan beratnya pidana.
Di dalam Rancangan
KUHP 2015
Pasal 101 ayat (2) , berbunyi: Jika
kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak
dilaksanakan, harus menggantikan hukuman penjara untuk hukuman pidana. Berdasarkan
rumusan pasal tersebut, maka aturan pasal 101
Rancangan KUHP 2015 pada tahun 2015, ditujukan terhadap orang dan bukan untuk
korporasi. Ini karena, jika kewajiban untuk membayar kerusakan tidak
dilaksanakan, harus menggantikan hukuman penjara untuk hukuman pidana. Ketentuan
ini hanya dapat dikenakan pada subjek tindakan kriminal dalam bentuk orang. Begitu
pula jenis pokok hukuman pidana dalam bentuk pengawasan, juga tidak dikenakan
kepada korporasi. Seharusnya perusahaan kriminal ini mungkin tunduk pada
istilah "masa percobaan perusahaan", yang berlaku untuk perusahaan
dengan kondisi yang menyertainya, termasuk restitusi kepada korban. Gagasan
"percobaan perusahaan" hampir sama dengan pidana kondisional/pengawasan
(hukuman percobaan ditangguhkan) untuk orang biasa.
Dalam rancangan KUHP
2015
pada pasal 79 hingga pasal 81, jika
diteliti lebih lanjut, jenis pidana, ditujukan kepada orang-orang dan bukan
kepada perusahaan. Dapat dilihat
dalam Pasal 79 Rancangan KUHP tahun 2015, yang berbunyi: Terdakwa melakukan
tindak pidana pidana penjara yang dijatuhkan hukuman 7 (tujuh) tahun, dapat
dijatuhi hukuman pengawasan. Ketentuan yang
berbunyi: "Dihukum oleh penjara", menunjukkan bahwa subjek pengawasan
kriminal ditujukan terhadap tindakan kriminal seperti orang dan bukan
perusahaan, menyebabkan penjara hanya dapat dikenakan pada orang / manusia.
Untuk
mendukung atau memperkuat pengawasan kriminal yang ditujukan terhadap
orang-orang, dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat 1 Rancangan Undang-undang Pidana
tahun 2015, yang berbunyi: Pengawasan kriminal dapat diberikan kepada terdakwa
mengingat keadaan dan tindakan pribadi. Ketentuan yang berbunyi:
"Menimbang keadaan pribadi", itu menunjukkan bahwa memiliki situasi
pribadi adalah individu. Hal ini ditegaskan juga khususnya pada Pasal 80
ayat 3 sub C, yang diatur pada satu syarat, yaitu pengawasan pidana terpidana
yang harus melakukan sesuatu atau tidak melakukan tindakan tertentu, tanpa
mengurangi kebebasan beragama dan politik. Dengan ketentuan yang berbunyi
"tanpa mengurangi kebebasan kebebasan beragama dan politik", ini
menunjukkan dengan jelas bahwa ketentuan tersebut hanya ditujukan untuk rakyat
dan bukan korporasi, karena perusahaan tidak memiliki bentuk kebebasan beragama
dan politik yang tepat, dan yang memiliki hak seperti itu adalah orang alami,
atau subjek hukum manusia.
Model-model yang dikenal
dalam
jenis pengaturan sanksi pidana, yang dikenakan terhadap korporasi, yaitu model pertama, pengaturan model pengaturan sanksi
pidana yang ditujukan untuk orang dan perusahaan tidak ada perbedaan. Model
kedua, tipe model pengaturan sanksi pidana yang membedakan sanksi pidana ketat untuk orang dan untuk
korporasi.
Mencari model jenis pengaturan sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap perusahaan, itu sangat
penting, karena sanksi pidana yang dikenakan pada
perusahaan harus diterapkan dengan hati-hati, karena akan berdampak pada pihak
yang tidak bersalah seperti karyawan korporasi, pemegang saham, dan konsumen. Model kedua sebagai model alternatif, yang membedakan
sanksi pidana yang ditujukan terhadap korporasi yang mencakup perbedaan antara
jenis-jenis sanksi kriminal yang dikenakan terhadap orang dan perusahaan, model
alternatif dari legislasi pengembangan kebijakan yang ideal, sehingga penegakan
hukum mengenai masalah tindak pidana korporasi dapat diimplementasikan dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan, terutama dalam
merumuskan undang-undang kebijakan sanksi pidana bagi korporasi adalah
kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya pencegahan dan pencegahan
kejahatan/memberantas kejahatan korporasi pada tahap aplikasi dan pelaksanaan
di Indonesia.
Referensi:
Priyatno, Dwidja. "The Alternative Model of Corporate Criminal Sanction Management in Indonesia." https://www.abacademies.org/articles/the-alternative-model-of-corporate-criminal-sanction-management-in-indonesia-6769.html
Setyowati, Sulis. "Tindak Pidana Korporasi". https://slissety.wordpress.com/iki-aku/
Alfianda, Doni. "Kejahatan Korporasi". https://www.academia.edu/6559124/KEJAHATAN_KORPORASI
Nasution, Bismar. "Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya". https://bismarnasution.com/kejahatan-korporasi-dan-pertanggungjawabannya/
Komentar
Posting Komentar